Posted by : Unknown Jumat, 24 Oktober 2014



Di tengah kondisi bangsa yang carut marut dan reformasi yang belum tuntas ini. Kehidupan kita semakin menampakan jurang kesenjangan sosial. Hampir setiap hari kita disuguhi informasi tentang korupsi, mafia pajak, keculasan para penegak hukum dan berbagai fenomena kebobrokan tatanan serta para elit pemimpin negeri yang akut terjangkiti moral hazard.

Para remaja bangsa ini, telah mengejutkan sensibilitas publik, bahkan mengagetkan masyarakat dunia. Yaitu, diraihnya juara umum pada Lomba Penelitian Ilmiah Remaja Tingkat Dunia Ke-17 atau 17th International Conference of Young Scientists (ICYS) pada 12- 17 April 2010. Tim Remaja Indonesia yang berkompetisi di semua bidang lomba, yakni Ilmu Fisika, Matematika, Komputer, dan Ekologi meraih tujuh medali emas, satu medali perak, dan tiga medali perunggu. Prestasi ini mengulang kesuksesan Indonesia pada ajang yang sama tahun lalu di Pszcyna, Polandia.

Hal ini menepis anggapan masyarakat dunia yang menyebut, kualitas pendidikan Indonesia rendah, mutu SDM kita terbelakang, penuh keterbatasan dan kekurangan. Anggapan yang terbantah oleh segelintir karya nyata remaja berprestasi.

Prestasi remaja Indonesia ini sama seperti hasil penelitian Merton Flemings, pada tahun 2005. Seorang ilmuwan Massachusetts Institute of Technology (MIT) yang sangat terkejut dengan hasil analisis risetnya, bahwa masa kini para remaja lebih futuristik dibanding orang dewasa.

Merton Flemings, menyebut ekspektasi tekhnologi di masa depan antara kaum remaja dan orang dewasa sangat jauh berbeda. Pemikiran progresif inovatif justru muncul dari kebanyakan remaja. Kemampuan analisis pun, berdasarkan penelitian itu, remaja lebih unggul dibanding orang dewasa.

Berdasarkan fakta dan penelitian itulah, kita menyakini bahwa perubahan besar hanya bisa dilakukan oleh para remaja. Kita tak bisa berharap banyak dari para orang tua pun pemimpin bangsa yang menurut A. Syafii Maarif, negeri kita saat ini sudah hampir sempurna kerusakannya. Berada di buritan peradaban.

Adalah sebuah kebanggaan tersendiri ketika saya diminta untuk memberikan catatan ini yang merupakan salah satu dari tumpukan prestasi anak- anak remaja Lampung yang digawangi oleh Pimpinan Wilayah Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM). Lebih lanjut, mungkin tulisan ini kemudian menjadi nostalgik melankolis, yang diam- diam menyumbat pembuluh darah saya, mencekat tenggorokan untuk menggumam, mereka, para kader IPM itulah kesejatian hakiki, para penafsir makna hidup yang telah tercerahkan. Mereka adalah zeitgeit zaman. Bagaimana tidak, di tengah keterbatasan dan cepitan lingkungan yang memaksa setiap orang untuk lebih matrialis dan individualis, pada geliat kehidupan yang setiap anak masuk secara sadar atau tidak dalam belenggu budaya hedon, masih ada anak- anak remaja yang konsen dalam peningkatan kualitas keshalehan diri untuk keshalehan sosial.

Di tengah anak- anak remaja umum yang gaul, geuvenile deleguency atau kenakalan remaja dalam beragam bentuk yang semakin ironis, sok modern, kemaki, imut- imut, lucu, dan naif itu masih kita temukan sekelompok remaja yang intens menggeluti manifestasi tauladan bagi teman sebaya. Mereka sibuk bergerilya pemikiran dan berdakwah, melaksanakan perkaderan yang dikelola dan difasilitasi sendiri oleh teman seusia. Anak- anak sekecil itu, sudah mampu bukan hanya berpikir soal transformasi sosial, tetapi juga bergerak mewujudkan mimpi- mimpinya. Dus berjuang menjadi suritauladan.

Terkait dengan itu, paparan prestasi remaja yang sudah mengharumkan nama Indonesia dan dunia pendidikan di ranah internasional yang penulis sebut di atas sebenarnya hanya penegasian bahwa remaja lebih bisa kita andalkan memperbaiki tatanan kehidupan ke depan, ketimbang para orang tua Indonesia yang terkenal korup dan anomali. Tesis itulah yang membuat penulis menganggap, untuk memperbaiki keadaan dan menjadi khoiru ummah, kita perlu para muadzin prestasi yaitu, remaja yang mampu memanggil teman sebaya dan lingkunganya untuk merayakan kemenangan.

Perayaan keberuntungan hidup, tidak mungkin ada tanpa kemampuan analitik dari para penafsir makna zaman, yang terhimpun dalam “sekelompok orang” sebagaimana amanat firman Allah dalam Al Quran, surat Ali Imron ayat 104:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”
Defenisi ma'ruf dalam konteks ayat ini kemudian dimaknai segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya. Sebab, perubahan untuk dunia yang kian terbuka dan di era multimedia sekarang tidak mungkin dilakukan oleh satu orang saja, melainkan diperlukan sistem organisasi yang termaktup dalam ketentuan serta berpegang teguh pada Quran- Hadist.

IPM dalam kaitan ini menemukan relevansinya, merekalah para muadzin prestasi yang terus ada dan menjadi pendulum kesejarahan umat manusia. Yang bukan saja dibanggakan manusia, melainkan Allah pun bangga pada para remaja itu, dimana diriwayatkan dalam salah satu hadist, beribadahnya anak muda lebih dicintai Allah ketimbang ibadahnya orang tua.

Gali Potensi Raih Prestasi

IPM, yang selama ini hanya dikenal sebagai anak yang sekolah di sekolahan Muhammadiyah merupakan anak- anak marginal, anak kelas dua dalam pergaulan dalam tolok ukur pendidikan sebab biasanya, anak yang sekolah di Muhammadiyah adalah mereka yang tidak diterima di sekolah negeri karena tidak lulus tes atau karena orangtuanya tidak mampu membiayai di sekolah negeri yang terkenal mahal itu. Anak sekolah Muhammadiyah adalah anak- anak bodoh dan miskin yang dilukiskan sempurna dalam Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata. Ternyata seiring berjalannya waktu, anggapan itu telah mampu diatasi oleh para remaja itu sendiri dengan mencerdasi kehidupannya. Banyak di antara mereka yang selama ini kita anggap sebelah mata, justru menjadi avant garde, garda terdepan sekaligus cahaya yang selalu hidup.

Sebab, tidak ada anak yang tidak memiliki potensi di dunia ini. Persoalanya adalah bagaimana kita mampu mewujudkan potensi- potensi itu menjadi sebuah prestasi, termasuk di dalamnya membuat rekayasa sosial agar lingkungan yang kita tempati menjadi media memprestasikan potensi- potensi kita.

Dalam kaitan itulah, para pelajar sekolah Muhammadiyah yang selama ini dianggap bodoh dan miskin itu diformulasikan oleh pelajarnya sendiri (baca; IPM) untuk ajang pembuktian menggali potensi dan meraih rangkaian prestasi. Jika di Laskar Pelangi, anak yang tidak pandai dalam hal akademik seperti Mahar, ternyata seorang maestro seni dengan bakat dan kejeniusan berkesenian yang luar biasa hingga membanggakan sekolahnya dalam lomba karnaval, ajang bergengsi di level kota tempat tinggalnya. Lalu seorang Harun sekali pun, yang idiot dan paling tua usianya ternyata mampu menenteng koper dan menebar senyum, sampai menyelamatkan sekolah Muhammadiyah untuk tidak ditutup. Apalagi anak- anak secerdas Lintang, Sahara, Ical, Harpani, yang saya yakin betul banyak berada di sekolah- sekolah Muhammadiyah, mereka menunggu waktu sekaligus perlu media yang tepat untuk memprestasikan potensi- potensinya. Pertanyaan yang harus dijawab dan diperlukan adalah IPM mengada, seharusnya untuk itu. Menukil kalimat Deskrates cargito argo sum (berpikirlah maka anda ada), maka bagi anak remaja, perlu dikatakan, ber-IPM-lah niscaya Anda ada.

Laskar Pelangi adalah contoh melodramatik yang diberitakan dan mampu menemukan puncak popularitas sekaligus prestasi. Bagi saya, anak- anak IPM di Lampung justru lebih dari itu. Kita ketahui, anak dari pedalaman semisal Sekampung Udik, Sendang Agung, Kalirejo, Cinta Mulya, Tangkit Batu, Metro, Sukoharjo, Gisting, Kotabumi, Krui dan masih banyak lagi di tempat- tempat lain di pelosok- pelosok dusun di seantero provinsi Lampung yang tidak mungkin disebut semua, lebih berprestasi dari sekedar Mahar, Lintang, Ical, dkk.

Prestasi itu adalah katarsis, kulminasi kesadaran seorang anak yang telah menemukan esensi hidup dan kesejatian akhsanu takwim. Di tengah anak- anak lain yang sibuk mengelola kesenangan kanak- kanak dan dimanjakan fasilitas oleh orangtuanya, mereka bertahan dalam berbagai kekurangan sehingga prinsip hidupnya setiap hari adalah “perang”. Mereka adalah para pemimpin IPM dalam setiap level kepengurusan. Perang untuk membagi waktu dalam beribadah, belajar sekaligus mengajarkan ilmunya, membagi waktu, bahkan beberapa di antaranya sudah berhasil yang dalam term hadist, khairun nas anfauhum linnas. Termasuk menghidupi dirinya sendiri dengan tidak mengandalkan kiriman dari orangtua untuk biaya pendidikanya.

Kepengurusan dalam setiap level dari Pimpinan Ranting (PR) sampai Pimpinan Pusat (PP) IPM sudah menyaring dan membuat langkah pembelajaran ideal. Karena untuk menduduki jabatan kepemimpinan mereka harus mengalami seleksi ketat dan persaingan yang sangat kompetitif, bukan hanya soal kualitas keagamaan yang wajib dimiliki, tapi juga wajib memiliki pengetahuan umum, sekaligus keterampilan baik itu life skill atau berorganisasi dalam maujud tertib ibadah, tertib belajar, dan tertib berorganisasi yang dikenal dalam konsep 3T. Kemudian disempurnakan dalam jabaran 3P atau yang biasa disebut penyadaran, pemberdayaan, dan pembelaan bagi teman sebaya.

Inilah yang membuat anak- anak IPM berbeda dari anak- anak remaja lain, sebab selain mereka harus menyadarkan diri sendiri atas tujuan hidup dalam bentuk- bentuk kajian rutin atau pun gerakan jama’ah dakwah jama’ah, study islam intensif, sampai arena perkaderan yang disebut Taruna Melati (TM) dari level satu sampai TM Utama. Dan banyak lagi gerakan lain yang jika diikuti dapat dipastikan memantik kesadaran siapa pun. Anak manusia dari mana pun.

Baru setelah “sadar” itulah mereka belajar dan beraksi dalam idealisme altruistik yang termaktup dalam konteks “pemberdayaan”. Setelah itu, tahap “pembelaan” bagi teman sebaya yang diorganisir dan sistemik dalam gerakan- gerakan kritis transformatif. Inilah yang membuat anak- anak Muhammadiyah jelas berbeda, bayangkan jika tugas 3P itu secara masif dan sempurna dilakukan oleh para remaja, niscaya dunia akan semakin dikejutkan oleh tataperadaban baru, masyarakat madani yang sejak era 80an sudah disuarakan para intelektual muslim seperti Nurkholis Majid, Emha Ainun Nadjib, Habibie, Amien Rais, M. Amin Abdullah, A. Syafii Maarif, dan lain sebagainya bahwa masa kebangkitan masyarakat utama, islam yang sebenar- benarnya hanya bisa muncul dari gua garba nusantara, yakni Indonesia. Negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.

Masyarakat Islam yang Sebenarnya

Banyak yang menisbatkan masyarakat madani atau civil society saat ini menjadi konsepsi ideal tatanan kehidupan bermasyarakat. Ernest Gellner dalam Menolak Posmodernisme (Mizan, 1994) memberikan pemikiran yang lebih mendalam tentang masyarakat sipil sekaligus menyelami pergulatan Adam Ferguson sebagai “pencerah” Skotlandia. Dimana Gellner juga mendefenisikan civil society sebagai “masyarakat harmoni”. Dan ini menurut penulis, hanya bisa disuarakan saat ini oleh para remaja yang terlatih dengan disiplin ketat 3T dan 3P tersebut di atas.

Kesepakatan masyarakat sipil sebenarnya adalah kerinduan universal keseluruhan manusia. Persoalannya adalah langkah pencapaian dimana semua orang memiliki interpretasi baik subyektif maupun obyektif. Kita ketahui analisis sintetik dari karakter masyarakat madani adalah pertama, ditemukannya fenomena demokratis. Menurut Neera Candoke (1995:5-5) social society berkaitan dengan public critical rational discource yang secara ekplisit mempersyaratkan tumbuhnya demokrasi. Dalam kerangka itu hanya negara yang demokratis yang menjamin adanya masyarakat madani.

Pelaku manusia dalam suatu struktur masyarakat cenderung saling menyumbat pertumbuhan masyarakat sipil, mekanisme demokrasilah yang memiliki kekuatan untuk mengkoreksi kecenderungan itu. Sementara untuk tumbuhnya demokratisasi dibutuhkan kesiapan anggota masyarakat berupa kesadaran berpribadi, kesetaraan, dan kemandirian. Syarat- syarat tersebut dalam konstalasi relatif memiliki linearitas dengan kesediaan untuk menerima dan memberi (take and give) secara berimbang. Maka dalam konteks ini pula, mekanisme kesadaran setiap individu remaja merupakan bagian terpenting menuju tatanan masyarakat ideal tersebut.

Suka atau tidak, inilah realitas kebijakan yang sekarang dianut negeri kita, bahkan menjadi pandangan dunia, yang kemudian diterima oleh Muhammadiyah dalam konsekwensi berbangsa dan bernegara. Persoalan inilah yang perlu penulis sampaikan untuk minimal menjadi ruang dialektika agar para remaja yang membanggakan seperti teman- teman IPM dimana pun berada, mampu menjadi penyeru, pemegang mandat kultural dan pewaris sifat- sifat kenabian. Ya, pandangan ini menegaskan bahwa dipundak para remaja yang terhimpun dalam IPM itulah, semua tentang kesempurnaan hidup bumi ini bergantung. Dalam konseptual ideal ini, kita melihat tanda- tanda itu.

Tanda- tanda yang membuat saya yakin dan bangga berkata, anggota IPM adalah para muadzin prestasi dan penafsir makna zaman. Merekalah para manusia profetik yang bakal membuat harmoni dunia. Pelangsung dan penyempurna embrional pemikiran masyarakat islam yang sebenar- benarnya. Dunia menunggu karya nyata kalian, anak- anak IPM, yang beruntung sudah sekolah di Muhammadiyah. (Endri Y.)

2010

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

>
<

Labels

Total Pageviews

Facebook

Twitter

- Copyright © 2013 Muhammad Khoirul Huda - DJogzs - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -