Posted by : Unknown
Rabu, 29 Oktober 2014
Orang bilang anakku seorang aktivis, Kata mereka namanya tersohor dikampusnya sana. Orang bilang anakku seorang aktivis, Dengan segudang kesibukan yang disebutnya amanah umat. Orang bilang anakku seorang aktivis, Tapi bolehkah aku sampaikan padamu nak? Ibu bilang engkau hanya seorang putra kecil ibu yang lugu.
Anakku, sejak mereka bilang engkau seorang
aktivis ibu kembali mematut diri menjadi ibu seorang aktivis. Dengan segala
kesibukkanmu, ibu berusaha mengerti betapa engkau ingin agar waktumu terisi
dengan segala yang bermanfaat. Ibu sungguh mengerti itu nak, tapi apakah
menghabiskan waktu dengan ibumu ini adalah sesuatu yang sia-sia nak?
Sungguh setengah dari umur ibu telah ibu habiskan
untuk membesarkan dan menghabiskan waktu bersamamu nak, tanpa pernah ibu
berfikir bahwa itu adalah waktu yang sia-sia Anakku, kita memang berada
disatu atap nak, di atap yang sama saat dulu engkau bermanja dengan ibumu ini.
masih teringat oleh ibumu ini kenangan kenangan manis ketika engkau masih ada
didekapanku, dipelukanku. Tapi kini dimanakah rumahmu nak?
Ibu tak lagi melihat jiwamu di rumah ini. Sepanjang
hari ibu tunggu kehadiranmu dirumah, dengan penuh doa agar Allah senantiasa
menjagamu. Larut malam engkau kembali dengan wajah kusut. Mungkin tawamu telah
habis hari ini, tapi ibu berharap engkau sudi mengukir senyum untuk ibu yang
begitu merindukanmu.
Ah, lagi-lagi ibu terpaksa harus mengerti, bahwa
engkau begitu lelah dengan segala aktivitasmu hingga tak mampu lagi tersenyum
untuk ibu. Atau jangankan untuk tersenyum, sekedar untuk mengalihkan pandangan
pada ibumu saja engkau enggan, katamu engkau sedang sibuk mengejar deadline.
Padahal, andai kau tahu nak, ibu ingin sekali
mendengar segala kegiatanmu hari ini, memastikan engkau baik-baik saja, memberi
sedikit nasehat yang ibu yakin engkau pasti lebih tahu. Ibu memang bukan
aktivis sekaliber engkau nak, tapi bukankah aku ini ibumu? yang 9 bulan waktumu
engkau habiskan didalam rahimku..
Anakku, ibu mendengar engkau sedang begitu sibuk
nak. Nampaknya engkau begitu mengkhawatirkan nasib organisasimu, engkau
mengatur segala strategi untuk mengkader anggotamu. Engkau nampak amat peduli
dengan semua itu, ibu bangga padamu. Namun, sebagian hati ibu mulai bertanya
nak, kapan terakhir engkau menanyakan kabar ibumu ini nak? Apakah engkau mengkhawatirkan
ibu seperti engkau mengkhawatirkan keberhasilan acaramu? kapan terakhir engkau
menanyakan keadaan adik-adikmu nak? Apakah adik-adikmu ini tidak lebih penting
dari anggota organisasimu nak ?
Anakku, ibu sungguh sedih mendengar ucapanmu. Saat
engkau merasa sangat tidak produktif ketika harus menghabiskan waktu dengan
keluargamu. Memang nak, menghabiskan waktu dengan keluargamu tak akan
menyelesaikan tumpukan tugas yang harus kau buat, tak juga menyelesaikan
berbagai amanah yang harus kau lakukan. Tapi bukankah keluargamu ini adalah
tugasmu juga nak? bukankah keluargamu ini adalah amanahmu yang juga harus kau
jaga nak?
Anakku, ibu mencoba membuka buku agendamu. Buku
agenda sang aktivis. Jadwalmu begitu padat nak, ada rapat disana sini, ada
jadwal mengkaji, ada jadwal bertemu dengan tokoh-tokoh penting. Ibu membuka
lembar demi lembarnya, disana ada sekumpulan agendamu, ada sekumpulan mimpi dan
harapanmu. Ibu membuka lagi lembar demi lembarnya, masih saja ibu berharap
bahwa nama ibu ada disana.
Ternyata memang tak ada nak, tak ada agenda untuk
bersama ibumu yang renta ini. Tak ada cita-cita untuk ibumu ini. Padahal nak, andai
engkau tahu sejak kau ada dirahim ibu tak ada cita dan agenda yang lebih
penting untuk ibu selain cita dan agenda untukmu, putra kecilku..
Kalau boleh ibu meminjam bahasa mereka, mereka
bilang engkau seorang organisatoris yang profesional. Boleh ibu bertanya nak, dimana
profesionalitasmu untuk ibu? dimana profesionalitasmu untuk keluarga? Dimana
engkau letakkan keluargamu dalam skala prioritas yang kau buat?
Ah,waktumu terlalu mahal nak. Sampai-sampai ibu
tak lagi mampu untuk membeli waktumu agar engkau bisa bersama ibu..
Setiap pertemuan pasti akan menemukan akhirnya.
Pun pertemuan dengan orang tercinta, ibu, ayah, kaka dan adik. Akhirnya tak mundur
sedetik tak maju sedetik. Dan hingga saat itu datang, jangan sampai yang
tersisa hanyalah penyesalan. Tentang rasa cinta untuk mereka yang juga masih
malu tuk diucapkan. Tentang rindu kebersamaan yang terlambat
teruntai.
*Anonimus
- Back to Home>
- Surat dari hati ibu untuk seorang aktivis
![](http://img2.blogblog.com/img/icon18_edit_allbkg.gif)