Posted by : Unknown
Sabtu, 08 Februari 2014
Demokrasi Indonesia sejak reformasi 1998 telah melahirkan beberapa perubahan signifikan dalam dinamika perpolitikan. Salah satu yang berubah adalah karakter pemilih. Saya melihat pemilih kini terkena arus post-modernisme yang dicirikan dengan pilihan irasional, tidak menyukai ideologi dan narasi besar, mengutamakan kepentingan lokal, dan menggunakan perasaan (suka/tidak suka) dalam mengambil keputusan. Karakter ini meninggalkan karakter modernism yang memiliki ciri rasional, menyukai narasi besar, universal dan mendukung keberadaan ideologi. Arus post- modernisme ini didorong oleh kecepatan perkembangan media digital dan teknologi informasi, yang membuat pemilih semakin berorientasi visual dan terkoneksi satu sama lain.
Dalam konteks Pemilu 2014, perubahan karakter ini bisa diartikan
bahwa narasi besar seperti ‘Indonesia Sejahtera’ atau ‘Menjadi Negara
Ekonomi Maju’ menjadi tidak laku, dan pemilih akan lebih suka narasi
kecil yang bersifat lokal dan menyentuh langsung kebutuhan individu
seperti ‘Sekolah Gratis Hingga SMA’, ‘Pajak Penghasilan 1%’, atau ’1
Miliar untuk 1 Desa’. Arus post- modernisme juga dapat membuat pemilih
tidak hanya sekadar melihat sosok karismatik atau pandai orasi, namun
juga sosok yang dicintai dengan tulus. Pemilih tidak lagi rasional dalam
konteks memilih berdasarkan aspek-aspek kuantitatif seperti prestasi,
besar partai, atau kekuatan modal, melainkan ada peranan mengasosiasikan
perasaan yang bermain dalam pertimbangan pemilih. Sehingga, Pemilu 2014
bukan menjadi pertarungan menyentuh logika, melainkan pertarungan
menyentuh hati.
Arus Pasang Tokoh Populis
Tokoh populis yang mampu merebut hati pemilih akan menjadi primadona
dalam Pemilu 2014. Ia adalah seorang yang mampu mengombinasikan
ketulusan berjuang, kemampuan akting politik, kegemaran membaur dengan
rakyat, dan bersahabat dengan media. Konsep populis di sini bukan
berarti membuat program asal rakyat senang, melainkan menjadi pribadi
pada mana rakyat mampu mengidentifikasikan dirinya sama dengan tokoh
tersebut. Pemilih post-modernis ini cenderung egaliter, sehingga mereka
menyenangi sosok yang dekat, akrab, dan tidak membuat jarak, apalagi
arogan.
Salah satu fenomena yang terbentuk akibat pemilih post-modernis
adalah Jokowi Effect, meski belum pernah terucap dari mulut sang
Gubernur kalau dirinya akan maju atau tidak dalam perhelatan calon
presiden, tetapi pemilih seakan tak sabar untuk mencoblos wajah Jokowi
di bilik suara. Perbincangan dengan Jokowi telah membahana ke
sudut-sudut keramaian Indonesia, pemilih seakan percaya penuh bahwa
Jokowi mampu membuat perubahan. Meski, saya menduga, para pecinta Jokowi
ini juga tidak mengetahui secara rinci perubahan apa yang telah
dilakukan oleh Jokowi atau gagasan besar apa yang diusung. Namun rasa
cinta kepada sosok populis ini membuat mereka menyerahkan masa depannya
pada kepemimpinan seorang Jokowi. Bagi pemilih post- modernis, gagasan
pembangunan nan megah bukan menjadi pertimbangan utama selama rasa cinta
telah terpaku.
Arus Surut Ideologi dan Narasi Besar
Pemilih kini tak acuh pada ideologi dan narasi besar, karena menurut
post-modernisme, kedua hal ini telah melahirkan friksi dan konflik antar
kelompok. Lebih lanjut, post-modernisme menilai dunia akan damai bila
antar kelompok tidak mengedepankan ego gagasan dan hidup dalam tata
kehidupan pluralisme. Akibatnya, partai politik dan politisi cenderung
bergerak tanpa nilai dan cenderung pragmatis. Mereka tidak lagi bermain
gagasan apa yang dibawa, karena keterbatasan mereka dalam membuat
gagasan yang menyentuh langsung kebutuhan publik. Padahal dalam
demokrasi yang berkualitas, peran gagasan ini sangat krusial. Narasi
besar beserta ideologi yang menyelimuti seharusnya berkontestasi dalam
pesta demokrasi seperti pemilu. Karena pemilu merupakan arena
pertarungan narasi, bukan sebuah perhelatan kontes idol.
Sejauh ini saya melihat ada beberapa calon presiden yang mengusung
narasi besar dalam orasi dan kampanyenya, seperti Menuntaskan Janji
Kemerdekaan, Gelombang Ketiga Indonesia, atau Indonesia Lahir Batin.
Narasi-narasi besar ini memang cukup menggugah dan mampu membangkitkan
hasrat sebagai Indonesia. Namun perlu diingat, bahwa ini masih sebuah
narasi besar nan melangit, sehingga menjadi sebuah konsekuensi logis
bagi mereka untuk mampu mengejawantahkan narasi besar yang ada menjadi
narasi-narasi kecil yang lebih kontekstual, lokal, dan membumi. Tentu
saja proses komunikasi narasi-narasi kecil ini juga perlu dengan cara
dan oleh pribadi yang populis.
Pilihan Kompromi Partai Politik
Pesta demokrasi Indonesia 2014 tampaknya akan menjadi sebuah pesta
arus post-modernisme pertama bagi Republik ini. Kompromi antara
perjuangan ideologi dan pragmatisme popularitas akan menjadi dinamika
menarik. Pilihan bagi parpol dan politisi setidaknya ada dua: pertama,
mengusung sosok populis yang dicintai; atau kedua, mengejewantahkan
narasi besar menjadi narasi-narasi kecil. Sembari berharap nilai-nilai
negarawan tidak diperjualbelikan demi sebuah bangku empuk di Istana
Negara.
Ridwansyah Yusuf AchmadPemerhati Ekonomi Politik
- Back to Home>
- Pemilu 2014 dan Arus Pemilih Post-modernis
![](http://img2.blogblog.com/img/icon18_edit_allbkg.gif)